Terror Of The Night

-ini adalah mimpi gue yang terjadi beberapa hari yang lalu. Mimpi yang terjadi pas lagi tidur. Mimpinya persis kayak gini, kalo kata gue kayak film2 dah haha. Cuma disini gaya ceritanya kubikin jadi kayak tulisan2 cerpen gitu.

-tokoh2 aslinya kalo di dalem mimpi selain ‘aku’nya asli, sama temen2 06 dulu. Sebenernya kalo kalian tau sih tau si ini siapa si itu siapa LOLOL. Kecuali si Sean yang aslinya adalah semacam artis singer dancer yang entah knp ngikut muncul di mimpinya, tapi paling beberapa juga kenal.

-ini intermezzo aja wkwk lagian kocak. Pas bangun tidur awalnya udah beneran tegang keinget mimpinya.. lalu.... ya baca aja sendiri nih, no spoiler.

-sekali lagi ini hanyalah MIMPI. Bukan mimpi: impian/cita2 ya. Tapi mimpi: bunga tidur.-





Hari sudah malam, lampu-lampu sudah dipadamkan. Aku dan kedua temanku—Nico dan Hana bersiap untuk pergi tidur. Kami sedang berada di sebuah rumah yang dijadikan basecamp sementara untuk murid-murid. Rumah ini cukup besar, dengan dua ruang makan, ruang tamu, ruang keluarga, dapur, garasi, dan 4 kamar tidur yang setiap kamarnya bisa diisi dengan beberapa murid.

Aku berdiri di depan tangga menungggu sambil melihat Nico dan Hana berjalan ke arahku. Tiba-tiba saat kami hendak melangkahkan kaki, aku merasa seperti ada bayangan sesorang yang berkelebat di sampingku. Dan benar saja, bukan hanya aku merasakannya. Nico dan Hana pun juga.

“Apaan tuh!?” Nico berteriak sambil menengok ke kanan dan ke kiri.

“Ngga tau!” Hana menjawab dengan wajah takut. Jemarinya menggapai lengan baju Nico.

Kami masih berdiam di depan tangga, dengan tubuh gemetar ketakutan berdiri merapat ke satu sama lain.

Sekali lagi bayangan itu lewat, di kiri, di depan, di belakang.

Akhirnya tanpa aba-aba kami segera berlari menaiki tangga dengan sangat cepat. Aku merasa seakan bayangan itu ikut berlari di belakang kami. Nico mencoba membuka pintu kamar kami tapi entah mengapa harus terjadi pada saat itu, pintunya macet.

“Cepetan buka!” Aku menegetuk pintunya sambil melihat ke belakang, berjaga-jaga.

Nico menggerutu.”Iya ini susah!”

Aku melihat sekeliling dan tiba-tiba aku merasa jantungku berdegup lebih kencang lagi saat aku menatap jendela yang berada di langit-langit yang menuju ke atap.

“I-itu!!” Aku menarik baju Nico dan Hana.

Mereka serentak menengok dan keduanya memperlihatkan ekspresi kaget yang sama. Apa yang kami lihat adalah seseorang yang duduk di atap dengan jaket dan sepatu bot. Terlihat seperti anak kecil. Hanya saja wajahnya tidak terlihat karena jendela yang tidak terlalu tinggi dan juga tidak adanya cahaya penerangan.

Tepat pada saat itu juga Nico berhasil membuka pintu dan langsung masuk disusul aku dan Hana. Di kamar yang mempunyai 3 kasur itu, aku bersandar di pintu dan melihat bahwa sudah ada beberapa teman yang tertidur. Dengan jantung yang masih berdegup kencang Nico dan Hana sudah berada di bawah selimut, berusaha menyembunyikan diri mereka. Aku  segera berlari dan melompat tepat ditengahnya.

“Hey gue juga mau ngumpet!” Aku mengangkat selimut itu dan ingin sekali cepat-cepat berada di tempat yang aman, tapi lalu Nico membuka selimut yang menutupi wajahnya dan menatap pintu.

“Kunci pintunya! Kunci!” Nico berrseru sambil menunjuk-nunjuk pintu.

Aku terdiam dan juga menatap pintu. “O-oke.”

Dengan cepat aku berlari menuju pintu. Baru saja kupegang kuncinya, pintu itu tiba-tiba langsung terbuka dengan paksa. Seorang pria dengan wajah yang tertutup hoodie abu-abu mencoba membuka pintu itu. Aku merasa jantungku akan berhenti saking takutnya. Aku segera menahan dorongannya tetapi orang itu terlalu kuat dan aku tidak akan bisa menahannya sendirian. Aku menoleh ke arah tempat tidur yang berada paling dekat denganku dan melihat satu temanku, Banni sudah tertidur pulas terbungkus jaket dan selimutnya. Aku sempat ragu karena itu adalah Banni, tapi mengesampingkan semua pikiranku langsung kupanggil temanku itu.

“Ban! Banni! Tolonginn!!” Aku berteriak berusaha membangunkannya.

Banni segera terbangun dan menatapku yang sedang kesusahan menghalang orang asing ini masuk.

“Tolongin ini!” Aku memanggilnya lagi saat Banni hanya duduk terdiam untuk beberapa detik.

Dengan segera dia berdiri dan membantuku mendorong orang asing ini keluar dengan tubuhnya. Akhirnya aku berhasil menutup pintu dan segera menguncinya.

Aku menghela napas panjang. “Maka—” Aku menoleh ke arah Banni tapi anak itu sudah berbaring kembali dengan mata tertutup. “—sih ya...”

Semuanya terasa lebih tenang walaupun masih ada sisa-sisa ketegangan di udara. Aku baru menyadari siapa yang tertidur di samping Banni saat akan kembali ke kasurku dan Hana.

“Wey!! Tidur aja, parah lo gak bantuin.” Aku memukul kaki Nico.

Dia membuka mata dan menunjukkan wajah kesal. Aku hanya tertawa pelan dan kembali ke tempat tidurku.

Saat kukira semua sudah kembali seperti semula. Ku dengar ada suara tawa seseorang, terkekeh pelan di luar pintu. Aku segera memanggil Nico untuk melihat apa yang terjadi diluar sana.

“Coba liat dari bawahnya.” Aku berkata sambil membungkuk dan mengintip dari bawah pintu.

Nico yang dari tadi hanya berdiri di sampingku langsung mengikutiku membungkuk.

“Sean??!” Kami berseru saat melihat salah satu teman kami sedang tertawa dengan tangan menutup mulutnya. Dia juga sedang mengintip dari bawah pintu.

Nico segera berdiri dan membuka kunci pintu. “Jangan-jangan kerjaan nih anak.”

Saat pintu terbuka Sean sudah berdiri di depan kami, masih berusaha menahan tawa. Tapi mungkin karena melihat ekspresi Nico dan aku yang serius seakan siap melahapnya hidup-hidup, dia mulai tertawa dengan lepas sambil memegangi perutnya.

“Kalian! Kalian tau gak siapa bapak-bapak tadi?” Sean akhirnya berbicara saat dia sudah dapat mengontrol tawanya.

Aku dan Nico memandang satu sama lain dengan bingung. “Bapak?”

Sean kembali tertawa terbahak-bahak.

“Woy jelasin yang bener.” Nico mencengkram lengan kiri Sean.

“Orang yang tadi ngejar kalian itu. Dia itu orang yang mau masang cctv disini!” Sean merapatkan bibirnya berusaha menahan tawa sambil menatap wajahku dan Nico bergantian.

Aku dan Nico masih menatap satu sama lain dengan bingung.

“Bapak-bapak?”

“Ngejar?”

“Cctv?”

Aku berusaha mencerna apa yang Sean baru saja katakan, lalu aku teringat anak yang berada di atap. “T-terus itu siapa?” Aku bertanya sambil menunjuk ke jendela.

Sean menoleh ke belakangnya ke arah jendela lalu mengangkat bahu. “Itu anaknya si bapak. Dia selalu ikut bantuin.”

“K-kok ada di atap?” Nico ikut bertanya.

“Mereka emang masuknya dari atap.” Sean terkekeh. “Tuh liat tas besar di samping anak itu. Itu perlengkapan untuk cctvnya.”

Ku perhatikan lagi dan benar saja di samping anak itu agak ke belakang ada tas seperti karung besar. Aku baru bisa melihat wajah anak itu dan mengetahui bahwa dia adalah anak perempuan saat dia membungkuk dan melambaikan tangannya ke arah kami.

Saat aku dan Nico akhirnya menyadari apa yang sebenarnya terjadi Sean kembali tertawa. “Cepetan sana minta maaf.”

Nico memegang pundak Sean. “Sekarang bapak itu dimana?”

“Tuh lagi sholat.” Sean memiringkan kepalanya ke arah kamar yang berada di samping kamar mandi.

Aku dan Nico segera berlari ke kamar itu. Benar saja si bapak baru saja selesai sholat. Ia terlihat tidak menyeramkan saat tidak memakai hoodienya. Nico yang pertama menghampiri bapak itu, aku menyusul di belakangnya.

“Pak, maaf ya pak... Kita kira bapak siapa.” Nico menjabat tangan bapak itu.

Aku bisa melihat wajah bapak itu yang sedikit kecewa. Lalu aku juga ikut menambahkan. ‘’Iya pak maaf pak.”

Akhirnya bapak itu mengangguk dan tersenyum sedikit. Nico menghela napas dan segera menunjuk sudut yang ada di langit-langit di kamar itu.

“Nanti cctvnya disitu ya pak, terus disini juga.” Ia mengajak bapak itu ke tempat lainnya.
Aku menghela napas sambil tertawa kecil. Lalu aku kembali ke kamarku.


Tamat.






Sebenernya akhirannya pas udah di kamar lagi, kita pada cerita-cerita. Ada adeku juga, ngeledekin dia pada cie2 sambil ketawa2. Eh tau2 si banni bangun dia ngeliatin sambil jutek gitu terus keluar, pergi. Salah paham ceritanya, dikira ngeledekin dia kalli-__-

Comments

Popular Posts